Kamis, 02 Agustus 2012

Allah Subhanahu Wa Ta'ala Mengawasi Manusai Dengan Tiga Cara

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim


Karena takut didatangi pencuri, maka warga suatu perumahan menyewa penjaga atau hansip. Tetapi terkadang pencurian masih terjadi walau hansip sudah dibayar. Hal ini bisa terjadi bila hansip tersebut lengah atau ketiduran, sehingga si pencuri bisa melakukan aksinya. Hansip juga manusia!
Bagaimana dengan Yang Maha Mengetahui? Allah SWT mengawasi manusia 24 jam sehari atau setiap detik tidak ada lengah. Didalam melakukan pengawasan, ada 3 cara yang dilakukan Allah SWT:
1] Allah SWT melakukan pengawasan secara langsung. Tidak tanggung-tanggung, Yang Menciptakan kita selalu bersama dengan kita dimanapun dan kapanpun saja. Bila kita bertiga, maka Dia yang keempat. Bila kita berlima, maka Dia yang keenam

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Mujadilah 7). 

Bahkan Allah SWT teramat dekat dengan kita yaitu lebih dekat dari urat leher kita.
"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qaaf 16)
2] Allah SWT melakukan pengawasan melalui malaikat.
"ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri" (QS. Qaaf 17)
"Kedua malaikat ini akan mencatat segala amal perbuatan kita yang baik maupun yang buruk; yang besar maupun yang kecil. Tidak ada yang tertinggal. Catatan tersebut kemudian dibukukan dan diserahkan kepada kita "
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun".(QS. Al Kahfi 49).
3] Allah SWT melakukan pengawasan melalui diri kita sendiri. Ketika kelak nanti meninggal maka anggota tubuh kita seperti tangan dan kaki akan menjadi saksi bagi kita. Kita tidak akan memiliki kontrol terhadap anggota tubuh tersebut untuk memberikan kesaksian sebenarnya.
"Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan"(QS. Yaasiin 65)
Kesimpulannya, kita hidup tidak akan bisa terlepas dimanapun dan kapanpun saja dari pengawasan Allah SWT. Tidak ada waktu untuk berbuat maksiyat. Tidak ada tempat untuk mengingkari Allah SWT. Yakinlah bahwa perbuatan sekecil apapun akan tercatat dan akan dipertanyakan oleh Allah SWT dihari perhitungan kelak.


Apa yang Dimaksud Kedekatan Dalam Ayat Ini?

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qoof: 16).

Semoga tulisan berikut bisa menjawab kerancuan di atas. Hanya Allah yang memberi taufik dan kemudahan.


Para ulama ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna kedekatan dalam ayat di atas, apakah yang dimaksud adalah kedekatan Allah atau kedekatan malaikat.

Abul Faroj menyebutkan bahwa ada dua pendapat ketika mengartikan kedekatan dalam ayat di atas.

Pertama adalah kedekatan para malaikat.

Kedua adalah kedekatan Allah dengan ilmu-Nya, sebagaimana yang disebutkan dari Abu Sholih, dari Ibnu ‘Abbas.

Namun ingat, mereka sama sekali tidak memaksudkan kedekatan di situ adalah kedekatan Dzat Allah ‘azza wa jalla, yaitu Dzat Allah dekat dengan urat leher dari seorang hamba. Jadi, jika ulama tersebut menafsirkan kedekatan di situ bukan kedekatan para malaikat, maka mereka mereka akan menafsirkan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan dengan ilmu dan qudroh (kekuasaan) Allah. –Demikian penuturan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-[1]

Jadi, perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang mengartikan kedekatan Allah dengan kedekatan Dzat-Nya, sehingga jika kedekatan-Nya dimaknakan Allah berada di mana-mana, ini adalah makna yang jelas-jelas keliru.

Tafsiran yang Lebih Tepat

Dari dua tafsiran ulama mengenai “kedekatan” dalam surat Qaaf ayat 16, kedekatan yang lebih tepat adalah kedekatan para malaikat bukan kedekatan ilmu Allah. Alasannya adalah:

Pertama: Melihat kelanjutan surat Qaaf ayat 16 yang membicarakan tentang malaikat.[2]

Selengkapnya Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ, إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 16-18). 
 
Konteks ayat ini membicarakan tentang malaikat.


Kedua: Yang dimaksudkan “al insan (manusia)” dalam surat Qaaf ayat 16 adalah umum, baik mukmin ataupun kafir. Jika kita menyatakan yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah kedekatan Allah, maka ini sangat bertentangan. Kedekatan Allah tidak mungkin pada orang kafir. Kedekatan Allah hanya pada orang beriman saja. Sehingga yang lebih tepat kita katakan, maksud ayat ini adalah kedekatan para malaikat.[3]


Mungkin ada yang mengatakan bahwa dalam surat Qaaf ayat 16 digunakan kata ‘Kami (nahnu)’, “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”, namun kenapa yang dimaksudkan adalah malaikat dan adakah contoh yang semisal?

Jawabannya, ada contoh ayat yang semisal. Sama-sama menggunakan kata ‘Kami (nahnu)’, namun yang dimaksudkan adalah kedekatan malaikat. Contohnya firman Allah Ta’ala,

لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ , إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (QS. Al Qiyamah: 16-17). Yang dimaksud dengan “Kami” di sini adalah Malaikat Jibril. Allah menyandarkan perbuatan Jibril pada diri-Nya karena Jibril adalah utusan-Nya. Sebagaimana dalam surat Qaaf ayat 16 Allah menyandarkan kedekatan malaikat pada diri-Nya karena malaikat adalah utusan-Nya. Hal itu dibuktikan dalam ayat,

أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ بَلَى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ
“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. Az Zukhruf: 80)[4].

Sehingga pendapat yang lebih tepat, yang dimaksud kedekatan dalam ayat tersebut adalah kedekatan malaikat sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


Begitu pula jika kita temukan dalam ayat lainnya yang menyebutkan kedekatan secara umum (mencakup mukmin dan kafir), maka yang dimaksudkan adalah kedekatan para Malaikat.[5]

Kedekatan Allah dengan Orang Beriman

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa makna kedekatan bisa dua kemungkinan yaitu kedekatan Allah atau kedekatan malaikat-Nya, dan bukan berarti mengkonsekuensikan Allah ada di mana-mana. Begitu pula perlu dipahami bahwa kedekatan Allah di sini adalah hanya khusus untuk orang beriman dan bukan dengan orang kafir. Namun apakah kedekatan Allah dengan orang beriman dalam segala keadaan?

Jawabannya, kedekatan Allah di sini hanya dalam beberapa keadaan. Contoh kedekatan Allah adalah:

Pertama: Ketika berdo’a

Sebagaimana hal ini terdapat dalam ayat berikut.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Begitu juga terdapat dalil dalam Shohih Muslim pada Bab ‘Dianjurkannya merendahkan suara ketika berdzikir’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِى تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ

“Yang kalian seru adalah Rabb yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian daripada urat leher unta tunggangan kalian.”[6]

Kedua: Ketika sujud

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.”[7]

Jadi kedekatan Allah adalah ketika seorang mukmin beribadah dan ketika seorang mukmin berdo’a. Adapun kedekatan secara umum adalah kedekatan para malaikat, sebagaimana pendapat yang lebih kuat.[8]
Akibat Salah Paham

Di antara akibat salah memahami kedekatan surat Qaaf ayat 16 tersebut adalah berkeyakinan Allah menyatu dengan makhluk atau Allah berada dalam makhluk.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hal ini berbeda dengan pemahaman orang yang menyimpang. Mereka menyangka bahwa Tuhan mereka bercampur dengan darah dan daging manusia. Akibatnya mereka pun menyatakan bahwa manusia tidaklah semata-mata disebut makhluk. Mereka mengatakan bahwa Pencipta dan makhluk itu satu. Menurut sangkaan keliru mereka, Allah sebagai sesembahan berada di dalam dan luar urat leher manusia. Jadi menurut mereka, Allah itu bercampur dengan makhluk". [9]
 

Maha Suci Allah dari sangkaan buruk mereka.

Allah Tetap Berada Di Atas Langit

Walaupun dalam pembahasan kali ini kami membahas kedekatan Allah, namun sekali lagi jangan dipahami bahwa maksud kedekatan di sini melazimkan Allah ada di mana-mana sebagaimana anggapan sebagian orang yang salah kaprah. Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang berjalan di atas kebenaran yang menyatakan seperti itu. Allah tetap berada di atas langit sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas ‘Arsy, terpisah dengan makhluk-Nya. Keyakinan inilah yang menjadi konsensus (ijma’) para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.[10]

Dalil-dalil yang mendukung keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak, sampai-sampai ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa ada 1000 dalil yang mendukung hal ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas makhluk-makhluk-Nya. Sebagian mereka mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.”[11]

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya adalah:

Pertama: Ayat tegas yang menyatakan Allah beristiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi dan paling besar.

Contoh ayat tersebut adalah,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy .” (QS. Thaha: 5)

Kedua: Dalil yang menanyakan di manakah Allah. Seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada seorang budak, “Di mana Allah?” Budak itu menjawab, “Di atas langit.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budak tersebut menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.” (HR. Muslim)

Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini ada dua permasalahan: [1] Diperbolehkannya seseorang menanyakan, “Di manakah Allah?” dan [2] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [12]

Ketiga: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta".” (QS. Al Mu’min: 36-37)

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka itu termasuk pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” [13]

Begitu pula empat imam madzhab bersepakat mengenai hal ini. Bahkan keyakinan ini adalah keyakinan semua nabi. Syaikh Abdul Qodir Al Jailani mengatakan, “Keyakinan bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya telah disebutkan dalam setiap kitab suci yang Allah turunkan pada para nabi.”[14]

Memang Betul Ilmu Allah Di Mana-Mana, Namun Bukan Dzat Allah

Jika dikatakan ilmu Allah di mana-mana, itu memang benar. Namun jika dikatakan bahwa Dzat Allah ada di mana-mana, maka perkataan seperti ini berarti telah mendustakan 1000 dalil dalam Al Qur'an. Lihatlah perkataan imam madzhab dan para ulama.

Abdullah bin Nafi’ berkata bahwa Malik bin Anas mengatakan, “Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[15]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, namun setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]

Dari ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[17]

Penutup

Dengan demikian seharusnya kita dapat mengkompromi antara dalil yang menyatakan Allah berada di atas langit dan dalil kedekatan atau kebersamaan Allah karena tidak mungkin ayat Al Qur’an satu dan lainnya saling bertentangan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah mengatakan, “Kedekatan dan kebersamaan Allah yang disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah tidaklah bertentangan denga ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dalam setiap sifat-sifat-Nya. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.”

Kesimpulan:


  1. Allah berada di atas ‘Arsy sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya.
  2. Allah juga selalu dekat dengan hamba-Nya yang beriman, namun bukan berarti Dzat Allah di mana-mana.
  3. Ilmu Allah di mana-mana, namun Dzat Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.
  4. Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang mengatakan kedekatan Allah dengan kedekatan Dzat-Nya sehingga berarti Allah ada di mana-mana.
  5. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.
  6. Sesuatu yang mustahil bagi makhluk, tidak mustahil bagi Allah. Makhluk tidak mungkin dikatakan berada di tempat yang tinggi tetapi dekat, namun hal itu mungkin saja bagi Allah. Karena Allah Maha Besar, segala sesuatu sangat mungkin bagi Allah.
  7. Menurut pendapat yang lebih tepat, pada surat Qaaf ayat 16 (Kami lebih dekat dari urat leher), yang dimaksud adalah kedekatan malaikat. Jika ingin dimaknakan kedekatan Allah, maka yang dimaksudkan adalah kedekatan Allah dengan ilmu-Nya dan bukan berarti Dzat Allah di mana-mana.

Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada setiap muslim yang mengkaji risalah ini.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

wallahu a'lam bish-shawab 

By : Mencari Rezky 


[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 5/502, Darul Wafa’,  cetakan ketiga 1426 H.
[2] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 5/504-505. Lihat pula penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika menjelaskan surat Qaaf ayat 16 dalam Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/15, Asy Syamilah
[3] Lihat Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/15.
[4] Lihat Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/15-16.
[5] Lihat Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/16.
[6] HR. Muslim no 2704, dari Abu Musa.
[7] HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah.
[8] Lihat Tafsir Al ‘Allamah Muhammad Al ‘Utsaimin, 8/16.
[9] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 5/501
[10] Idem
[11] Majmu’ Al Fatawa, 5/121
[12] Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H
[13] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi , Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/441, Mu’assasah Ar Risalah, cetakan kedua, 1421 H.
[14] Fathu Robbil Bariyyah bi Talkhishil Hamawiyyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, hal. 33, Darul Atsar, cetakan pertama, 2002.
[15] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, Adz Dzahabiy, hal. 138, Asy Syamilah
[16] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisy, hal. 116, Asy Syamilah
[17] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 139. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar