Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim
Saudaraku
sekalian, semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk meniti jalan
yang lurus. Bagi umat Islam, kebenaran agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah perkara yang tidak bisa lagi diutak-atik. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai
agama, maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti pasti
tergolong orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Meskipun demikian,
ternyata masih ada juga orang-orang (yang disebut-sebut sebagai cendekiawan)
mencoba menularkan penyakit tasykik (peragu-raguan) ke dalam tubuh umat
Islam. Mereka berpendapat bahwa semua agama benar berdalih dengan kenyataan
pluralisme (kemajemukan) agama yang ada di dunia ini. Nama lain ‘penyakit’ ini
adalah inklusivisme, suatu istilah yang terkesan ‘mentereng’ namun
menyimpan racun yang mematikan!
Sekilas
tentang pluralisme dan inklusivisme
Sebagaimana
yang diungkap oleh Dr. Syamsuddin Arif, bahwa pluralisme agama merupakan
persenyawaan dari tiga dasar pemikiran : [1] semua tradisi agama-agama besar
adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang
transenden dan suci, [2] semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan, [3]
semuanya tidak ada yang final. Artinya setiap agama harus selalu terbuka untuk
dikritisi dan direvisi. Di Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan
inklusivisme. Oleh para pengusungnya, gagasan ini diartikan sebagai paham
keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain. Pada hakikatnya,
paham ini sangat berbahaya. Sebab ia mengajarkan bahwa agama Anda [Islam]
bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak boleh Anda menganggap penganut
agama lain bakal menghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik -apa pun
agamanya- bisa saja selamat. Islam berarti penyerahan diri kepada Tuhan, tidak
lebih dari itu. Maka siapa pun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun
secara formal dia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim [?]. Jika
dibiarkan, –masih menurut beliau- paham-paham ini akan bekerja menghabisi semua
agama [!] (Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hal. 82-83 dengan ringkas).
Benarkah
semua agama benar?
Pernyataan
semua agama benar sesungguhnya pernyataan yang kekanak-kanakan, tidak ilmiah,
bahkan tidak masuk akal, dan yang lebih parah lagi bertentangan dengan
Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kebenaran itu
adalah berasal dari Rabbmu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk
orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah : 147). Allah juga berfirman
tentang kebenaran Al-Qur’an (yang artinya), “Alif lam mim. Ini adalah kitab
yang sama sekali tidak terdapat keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, mendirikan
shalat, dan menginfakkan sebagian harta yang kami rezekikan kepada mereka. Dan
orang-orang yang mengimani kitab yang diturunkan kepadamu (al-Qur’an) dan kitab
yang diturunkan sebelummu serta meyakini hari akhirat. Mereka itulah
orang-orang yang berada di atas petunuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5).
Dengan
mencermati ayat-ayat di atas dengan pikiran yang jernih, jelas bagi kita bahwa
: [1] Kebenaran bersumber dari Allah ta’ala, [2] Allah ta’ala
telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk menuju kebenaran, [3] Al-Qur’an sedikitpun
tidak boleh diragukan, [4] Orang-orang yang dapat memetik pelajaran dan
bimbingan Al-Qur’an kemudian akan bisa mengaplikasikannya di dalam kehidupan
adalah orang-orang yang bertakwa; yaitu yang menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, [5] di antara ciri orang yang bertakwa itu adalah
mengimani perkara gaib [iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, takdir, dsb],
mendirikan shalat, menunaikan zakat, membenarkan wahyu yang diturunkan Allah
kepada para rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
–dan sekarang syariat mereka telah dihapuskan dengan syariat beliau-, dan juga
mengimani hari akhirat.
Nah,
dengan memperhatikan ini saja maka tampak dengan jelas bagi kita betapa
rusaknya keyakinan bahwa semua agama benar. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan
orang-orang musyrik akan berada di dalam neraka Jahannam, mereka kekal di sana
selama-lamanya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang
jiwa Muhammad berada di tangannya. Tidaklah ada seorang pun di antara umat
manusia ini –Yahudi ataupun Nasrani- yang mendengar kenabianku kemudian
meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaranku kecuali dia pasti
termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim). Alangkah benar sabda Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam, dan alangkah dusta apa yang dikatakan oleh mereka…
Semuanya
menawarkan jalan keselamatan?
Menawarkan
jalan keselamatan, semua orang pun bisa. Namun, yang menjadi masalah adalah
ketika penawaran tersebut tidak didukung oleh bukti dan dalil yang sah alias
tawaran palsu. Orang Arab mengatakan, “Semua orang mengaku punya hubungan cinta
dengan Laila, akan tetapi Laila tidak mengakui ucapan mereka”. Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Betapa banyak orang yang
menginginkan kebaikan namun tidak mendapatkannya.” Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Mereka (orang-orang kafir) berkata; ‘Jadilah kamu
sebagai penganut agama Yahudi atau Nasrani pasti kamu akan mendapat petunjuk’.
Katakanlah [kepada mereka itu] : Bahkan, ajaran yang benar adalah agama Ibrahim
yang hanif (bertauhid), dan dia sama sekali bukan termasuk orang-orang
musyrik.” (QS. Al-Baqarah: 135). Kalau memang agama-agama selain Islam
dapat mengantarkan kepada keselamatan lantas untuk apa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersusah payah berdakwah di Mekah untuk memberantas
pemujaan berhala, mendakwahi orang-orang Yahudi dan Nasrani supaya masuk Islam,
dan bahkan memerangi mereka? Dan untuk apa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam repot-repot mengajak pamannya Abu Thalib –menjelang kematiannya-
untuk mengucapkan syahadat? Aduhai, tampaknya orang-orang yang termakan
pemikiran ‘nyleneh’ semacam itu benar-benar tidak memahami sejarah? Atau
mungkin saja otak mereka telah dicuci? Allahu yahdiihim.
Hanya
ada satu jalan keselamatan
Sesungguhnya
orang yang menganggap bahwa semua agama menawarkan jalan keselamatan adalah
orang yang telah rusak akalnya, kalau tidak boleh dikatakan gila. Mengapa
demikian? Perhatikan saja berbagai macam ajaran agama yang ada di dunia ini
yang satu sama lain saling bertentangan. Orang-orang Nasrani menganggap Nabi
Isa ‘alaihis salam adalah anak Tuhan, sementara umat Islam menganggap
beliau adalah hamba dan rasul-Nya kepada kaumnya. Orang-orang ahli kitab
menaati pendeta dan rahib dalam memutarbalikkan hukum Allah, sementara kaum
muslimin menaati para ulama selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah.
Orang-orang musyrik meyakini bahwa doa mereka tidak akan sampai kecuali dengan
perantara sesembahan mereka selain-Nya, sedangkan orang-orang beriman meyakini
bahwa Allah Maha mengabulkan doa hamba-Nya, apa pun kedudukan mereka. Bagaimana
mungkin ajaran yang saling bertentangan ini bisa dikatakan semuanya menawarkan
jalan keselamatan?
Allah
ta’ala mengajarkan kepada kita –melalui Sunnah nabi-Nya- agar berdoa di
setiap rakaat shalat kita, “Ya Allah, tunjukilah kepada kami jalan yang
lurus.” (QS. Al Fatihah: 6). Jalan yang lurus itu tidak lain adalah Islam
dengan segala rincian syariat yang ada di dalamnya, yang bersih dari
penyimpangan dalam hal ilmu maupun amal. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, ikutilah ia dan jangan
kalian mengikuti jalan-jalan yang lain sebab itu akan menceraiberaikan kalian
dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’aam: 153). Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan
hakikat shirathal mustaqim. Hakikat dari jalan yang lurus itu adalah;
jalan yang Allah hamparkan untuk hamba-hamba-Nya agar mereka bisa sampai
kepada-Nya. Tidak ada jalan untuk menemui-Nya kecuali jalan itu. Semua jalan
akan tertutup dan buntu bagi manusia selain jalan Allah itu yang telah
diterangkan melalui lisan para rasul-Nya dan Allah jadikan jalan itu
mengantarkan hamba untuk menjumpai-Nya (di akhirat kelak). Hakikat dari jalan
itu adalah mengesakan Allah dalam hal peribadahan dan menunggalkan rasul-Nya
dalam hal ketaatan. Sehingga tidak boleh sesuatupun disekutukan dengan Allah
dalam hal ibadah kepada-Nya, dan tidak boleh mengangkat manusia manapun untuk
disekutukan dengan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal
ketaatan… (Dinukil dari Fath Al-Majid, hal. 25).
Islam
sudah final dan gamblang
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dia lah Allah yang telah mengutus
rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di
atas semua agama. Meskipun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya” (QS.
Ash-Shaff: 9). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Pada hari
ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan
nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS.
Al-Maa’idah: 3). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Apakah
makna Islam? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam
yaitu kamu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke baitullah jika kamu
mampu melakukan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim). Lalu di manakah Islam
pada diri para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani kalau demikian?
Maka
teranglah bagi kita bahwa pernyataan ‘siapa pun yang menyerahkan diri kepada
Tuhan, meskipun secara formal dia berada di luar agama Islam, boleh disebut
Muslim’ tidak lebih daripada kedustaan atas nama agama Islam, dusta atas
nama Allah, atas nama rasul-Nya, dan atas nama para ulama!! Padahal berbicara
tentang agama tanpa ilmu merupakan dosa yang sangat-sangat besar! Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Katakanlah; sesungguhnya Rabbku hanya
mengharamkan berbagai perbuatan keji yang tampak maupun yang tersembunyi,
perbuatan dosa, melampaui batas tanpa haq, mempersekutukan sesuatu dengan Allah
padahal tidak ada sama sekali hujjah yang Allah turunkan untuk mendukungnya,
dan kalian berkata-kata atas nama Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui.”
(QS. Al-A’raaf : 33).
Bukankah
mereka juga beriman dan berbuat baik?
Sebagian
orang yang sudah termakan oleh penyimpangan yang satu ini bisa saja mengatakan,
“Bukankah mereka (Yahudi dan Nasrani serta pemeluk agama lain) juga beriman dan
berbuat baik? Padahal, Allah menjanjikan keberuntungan bagi orang yang beriman
dan berbuat baik.”
Saudaraku,
marilah kita cermati hal ini dengan pikiran yang jernih. Apakah makna iman dan
apa yang dimaksud dengan berbuat baik atau amal saleh? Karena boleh jadi
pemahaman kita tentang iman masih terbatas pada keyakinan bahwa Allah itu ada,
atau amal saleh adalah berbuat baik kepada sesama manusia belaka. Padahal
ternyata kedua istilah itu tidak sesempit yang mereka sangka. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu adalah kamu beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman
kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim). Keimanan kepada
Allah meliputi keimanan kepada rububiyah, uluhiyah, dan asma’
wa shifat-Nya. Sedangkan keimanan kepada rasul ialah dengan membenarkan
beritanya, menaatinya, dan beribadah kepada Allah dengan syariatnya.
Oleh
sebab itu amal tidak dinamakan sebagai amal saleh kecuali jika memenuhi 2
syarat ; ikhlas/bertauhid dan mengikuti tuntunan, tidak tercampur syirik dan
bukan bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari agama kami maka
tertolak.” (HR. Muslim). Apabila orang-orang kafir dan musyrik berbuat baik
kepada sesama di dunia –tapi mereka tetap bertahan di atas kekafirannya- maka
Allah akan membalas kebaikan mereka itu di dunia saja, sementara di akhirat
Allah mengharamkan mereka masuk ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah
mengharamkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maa’idah: 72).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang
menginginkan kesenangan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami akan
menyempurnakan balasan atas amal mereka di sana (di dunia), dan mereka di sana
sama sekali tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan
apa-apa di akhirat kelak kecuali neraka, dan lenyaplah seluruh yang mereka
lakukan dan sia-sialah amal yang dulu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16).
wallahu a'lam bish-shawab
By : Mencari Rezky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar