Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
BismillahirrahmanirrahimNusyuz secara kebahasaan diartikan “tempat yang tinggi”, yaitu sikap ketidakpatuhan yang muncul dari isteri ataupun suami. Dalam kitab Lisanul Arab – Ibnu Manzur (630 H) mendefenisikan nusyuz adalah “rasa kebencian salah satu pihak (suami atau isteri) terhadap pasangannya”. Sedangkan Fikih Islam Waadillatuhu – Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily – guru besar Fikih dan Usul Fikih Universitas Damaskus – Siria, mengartikan nusyuz adalah “ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan/atau rasa benci terhadap pasangannya”. Dengan kata lain, nusyuz berarti tidak taatnya suami/isteri kepada aturan-aturan yang telah diikat oleh perjanjian yang telah terjalin dengan sebab ikatan perkawinan, tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’.
Dengan demikian, ketidakpatuhan, kedurhakaan, pembangkangan terhadap sesuatu yang memang tidak wajib untuk dipatuhi, seperti suami menyuruh isteri untuk berbuat maksiat kepada Allah Swt, atau isteri menuntut sesuatu di luar kemampuannya, maka sikap ini tidak dapat dikategorikan kepada nusyuz – karena Nabi Saw bersabda: Tidak ada kepatuhan kepada makhluk untuk ma’siat kepada khaliq (Allah Swt).
Nusyuz bisa terjadi dari pihak isteri, sebagai dasar hukumnya adalah firman Allah Swt:
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz¬nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka dan jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (QS. an-Nisa’: 34).
Adapun dasar hukum nusyuz dari pihak suami terhadap isteri adalah firman Allah Swt:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. an-Nisa’: 128).
Jika nusyuz terjadi secara bersamaan dari kedua belah pihak (isteri dan suami), maka tidak dikategorikan kepada nusyuz, akan tetapi dikategorikan kepada syiqaq yang berarti perselisihan dan percekcokan, permusuhan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami dan isteri, maka penyelesaian yang dilakukan untuk mengatasi kemelut yang berkepanjangan tersebut adalah dengan mengangkat hakim (penengah atau juru damai) guna mencari akar permasalahan dan juru damai yang dimaksud dapat diangkat dari pihak suami dan isteri atau dari pihak luar keluarga selama tujuan damai dapat dicapai, dan dasar hukum syiqaq ini terdapat di dalam surat an-Nisa’ ayat 35.
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Maka jika tujuan damai tidak tercapai, para ulama Fikih berbeda pendapat tentang kebolehan menjatuhkan talak (cerai) karena semata-mata pertimbangan syiqaq. Mazhab Hanafi, tidak membolehkan menceraikan isteri karena alasan syiqaq, karena masih dapat diselesaikan lewat pengadilan untuk diberi nasehat oleh haki agar suami/isteri tidak lagi mengulangi sikapnya yang dapat menimbulkan perselisihan yang baru. Mazhab Maliki, membolehkan terjadinya perceraian atas pertimbangan syiqaq, karena syiqaq menimbulkan mudarat dalam rumah tangga dan mudarat dapat dihilangkan melalui perceraian lewat pengadilan atau wewenang suami.
Sedangkan Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily berpendapat, pasangan suami/isteri yang berseteru berkepanjangan (syiqaq) tidak selamanya dapat diselesaikan tanpa perceraian, maka pengadilan dapat memutuskan untuk terjadinya perceraian dan putusan hakim terhadap perceraian akibat syiqaq, talaq yang dijatuhkan berstatus ba’in sughra, yakni suami bisa kembali kepada bekas isterinya dengan akan nikah yang baru (lihat Fikih Islam Waadillatuhu Juz: 7 hal.529).
Kembali kepada persoalan nisyuz. Nusyuz dapat terjadi dalam bentuk perkataan dan tindakan. Nusyuz perkataan dapat terjadi jika seorang isteri tidak berbicara sopan kepada suaminya, seperti memaki-maki suaminya, atau menjawab secara tidak sopan terhadap pembicaraan suaminya yang bersikap santun kepadanya. Sedangkan nusyuz dalam perkataan bagi pihak suami kepada isterinya adalah menghina isterinya, atau membentak-bentak isterinya yang telah menjalankan tugasnya sebagai isteri.
Adapun nusyuz dalam bentuk perbuatan, dari pihak isteri misalnya tidak mau pindah ke rumah yang telah disediakan oleh suaminya, tidak mau melaksanakan apa yang diperintahkan oleh suaminya dalam batas-batas tertentu sebagai tugas seorang isteri, keluar rumah tanpa izin suami, tidak mau melayani suaminya sedangkan dia tidak dalam keadaan uzur atau sakit. Sedangkan nusyuz dari pihak suami adalah mengabaikan hak-hak isterinya atas dirinya, seperti, tidak memberikan nafkah lahir batin pada isteri atau berfoya-foya dengan perempuan lain, atau menganggap sepi atau rendah terhadap isterinya.
Jika seorang isteri mengalami perlakuan nusyuz dari suaminya, maka isteri dapat melakukan dua hal, yakni: Pertama, bersabar terhadap perlakuan suaminya, karena dengan sikap sabar akan dapat menimbulkan kesadaran pada suaminya, jika membalas dengan perlakuan yang sama, maka kedua-duanya akan terjebak kepada nusyuz, dan pada gilirannya akan membawa kepada syiqaq dan syiqaq akan membawa kepada perseteruan yang berkepanjangan. Kedua, isteri dapat melakukan khulu’, yaitu kesediaan untuk membayar uang iwad (uang pengganti) agar suami bersedia untuk menceraikannya.
Sebaliknya, jika suami mengalami perlakuan nusyuz dari pihak isterinya, maka suami dapat melakukan empat hal, yakni:
Pertama, memberikan nasehat kepada isteri agar bertaqwa kepada Allah Swt, dan nasehat diawali mengintrospeksi dirinya sendiri karena boleh jadi sikap nusyuz isteri timbul akibat sikap suami sendiri.
Kedua, berpisah ranjang dan tidak saling tegur sapa (sebagai lanjutan dari tahapan pertama jika tidak berhasil di nasehati) dan tidak lebih dari tiga hari, berdasarkan Sabda Nabi Saw: Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidka bertegur sapa dengan saudaranya lebih dari tiga hari tiga malam ((HR. Abu Daud dan Nasai).
Ketiga, memikulnya dengan tidak sampai mencederai, tidak boleh memukul wajah dan perut, dan dengan alat yang tidak membahayakan. Nabi Saw bersabda: Tidak dibenarkan salah seorang kamu memukul dengan pemukul yang lebih dari sepuluh helai lidi, terkecuali untuk melakukan hal-hal yang ditetapkan (hudud) Allah (HR. al-Bukhari Muslim).
Keempat, adalah tahap yang diberikan untuk menyelesaikan syiqaq, yaitu mencari juru damai, hingga sampai ke pengadilan untuk melakukan perceraian.
Adapun konsekuensi hukum akibat nusyuz isteri terhadap suaminya adalah gugur kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri nusyuz selama dalam nusyuznya, dan apabila suaminya meninggal dunia, isteri tidak mendapat warisan, terkecuali harta pembawaan sebelum terjadi akad nikah. Apabila jika seorang isteri murtad (na’uzubillāh), maka terputuslah hak untuk mendapat warisan, dan jika ada harta pembawaannya, tidak diwarisi tapi diserahkan kepada Baitul Mal (lihat Fikih Islam Waadillatuhu Juz 8 hal.408). alasan dari semua itu adalah karena nafkah adan warisan merupakan nikmat Allah, maka tidak dibenarkan mendapatkan dengan jalan kedurhakaan dan kemaksiatan.
wallahu a'lam bish-shawab
By : Mencari Rezky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar